Melalui gadget, Henny Widjaja memantau bisnis kecilnya yang mulai menggelinding kencang. Abon Cabe Ninoy.
Hari-hari Henny Widjaya tidak pernah lepas dari Samsung Tabs 8”. Dua perangkat BlackBerry yang dipegang karyawannya juga tak henti berderik-derik. Mengabarkan pesanan yang datang melalui BlackBerry Messenger (BBM), Facebook , Yahoo Messenger maupun pesan singkat atau surat elektronik. Yah, perputaran bisnis Abon Cabe Ninoy yang dirintis Henny sejak tahun 2008 itu memang sangat terdukung oleh maraknya pergaulan di media social.
Sebagai gambaran, dI facebook, setidaknya ada 51 akun agen atau reseller yang menawarkan produk ekstrim ciptaannya. Padahal orang-orang yang menjadi perpanjangan distribusi Abon Cabe Ninoy tersebut sama sekali tidak memiliki ikatan kontrak dengan Henny. Harap maklum, sampai saat ini wanita 39 tahun itu tetap bersikeras untuk menerapkan sistem jual putus dengan mereka.
Persentuhan lulusan diploma bisnis dari Australia itu dengan media social tidak hanya terjadi setelah produknya butuh saluran distribusi. Empat tahun silam ia sudah memanfaatkan Kaskus untuk penetrasi pasar. September 2008, Henny berinisiatif membuat akun di situs jual beli gratis tersebut setelah produknya yang unik mulai mendapatkan respon di pasar word of mouth. Ketika itu ia baru punya satu varian yakni rasa original dengan kemasan plastic yang sangat sederhana.
Abon cabe sendiri merupakan hasil penemuan Henny yang memang suka memasak. Inspirasinya adalah cabe bubuk kering tanpa rasa yang biasa ditaburkan di atas kuliner Italia. Lewat trial & error berulangkali, ibu satu anak ini akhirnya berhasil menciptakan semacam sambal super pedas dengan rasa yang unik. Henny menyebut konsentrat hasil pengovenan cabe itu sebagai abon karena berbentuk serpihan kering. Melalui proses pengovenan selama beberapa hari, 1 kg cabe hanya bisa menghasilkan 200 gram abon cabe yang tahan lama karena kekeringannya.
Dengan modal awal Rp2,5 juta, produk tersebut dipasarkan lewat pegawai-pegawai di salon yang dikelolanya saat itu. Juga diedarkan di antara kalangan pekerja sinetron, di mana dia menjadi salah satu make up artis. Ia juga memajangnya di kantin yang dia kelola.
Lewat pemasaran dari mulut ke mulut abon cabe mulai dikenal konsumen. Apalagi ketika ia berinisiatif untuk memasarkan lewat Kaskus . Pesanan mulai mengalir dan makin lama makin banyak. Henny kemudian menempelkan merek Ninoy pada produk ciptaannya, yang diambil dari nama panggilan di masa kecil.
Dipicu Trending Kaskus
Pintu rezeki Abon Cabe Ninoy makin terbuka saat Tabloid Saji tertarik dengan trending yang terjadi di Kaskus. Media masak-memasak keluaran Gramedia itu menayangkannya pada edisi Ramadhan. Dinilai sebagai produk baru yang unik, Henny kemudian ditawari untuk ikut pameran di Bentara Budaya. Di sana produknya mendapat sambutan lumayan setelah ia menyebar tester produk dalam kemasan plastik-plastik kecil.
Kehadiran Abon Cabe Ninoy menarik perhatian seorang wartawan Koran Warta Kota yang kebetulan meliput pameran dan memuatnya di halaman tengah. Seperti efek berantai, setelah itu silih berganti awak media mewawancarainya. Awareness Abon Cabe Ninoy makin menguat dan meluas setelah berbagai saluran televisi pun ikut meliputnya. Dalam catatan Henny, sampai sekarang sudah lebih dari 13 program yang menayangkan liputan Abon Cabe Ninoy di layar kaca.
Juli 2010 Henny membuka akun facebook khusus untuk Abon Cabe Ninoy. “Di sana bukan untuk jualan, karena sudah ada teman reseller yang jualan Ninoy lewat facebook,” tambahnya. Di situs pertemanan tersebut, rata-rata audience mengajukan pertanyaan seputar prosedur menjadi agen Abon Cabe Ninoy. Ponsel Henny pun tak berhenti berdering-dering karena nomornya juga sering dicantumkan di media yang menayangkan usahanya.
Efek terbesar terjadi setelah Trans TV menayangkannya dalam acara “Bosan Menjadi Pegawai” awal 2011 silam. Permintaan pertemanan di facebook bertambah lebih dari 3 ribu dalam waktu tidak sampai seminggu. Bahkan tak berbilang hari setelah masa tayang, permintaan pertemanan yang datang mencapai lebih dari 1.000 dalam kisaran jam. Sebenarnya hal serupa juga terjadi beberapa minggu sebelumnya ketika channel TV milik Chairul Tanjung itu meliputnya untuk sajian informasi “Jelang Siang”. Ketika itu dalam sehari permintaan pertemanan facebook Abon Cabe Ninoy juga mencapai lebih dari 500.
Insight Agen untuk Membangun Sistem Bisnis
Henny mengamati dengan cermat dan mengidentifikasi berbagai respon yang masuk ke akun facebook-nya. Kebanyakan pertanyaan di dindingnya berkaitan dengan syarat-syarat untuk menjadi agen/reseller, serta besaran diskon untuk pembelian dalam partai besar. Dengan tetap merespon setiap pertanyaan satu demi satu, Henny memanfaatkan berbagai pertanyaan itu sebagai insight awal untuk membangun sistem bisnisnya. Saat itu Abon Cabe Ninoy sudah menambah varian rasa teri bawang dengan berbagai volume kemasan. Mulai ukuran 100 gram, 250 gr, 500 gr, dan 1 kg dengan kemasan kantong dan toples plastik.
Sebagai hasilnya, ia menerapkan dua prinsip penting bagi yang berminat menjadi mitra bisnis Abon Cabe Ninoy. Pertama, Henny hanya melayani pembelian dengan sistem jual putus tanpa kontrak apapun, berapapun volumenya dan tidak menanggapi permintaan eceran. Kedua, bagi yang berminat menjual kembali Abon Cabe Ninoy, tersedia dua pilihan. Untuk menjadi reseller pembelian minimum 5 kg dan berhak mendapat diskon 10%. Namun hanya boleh menjual kembali secara eceran. Pilihan kedua sebagai agen dengan syarat pembelian minimal 15 kilogram per bulan. Bagi agen diperbolehkan memiliki reseller maupun menjual secara eceran.
“Tanpa dibuat sistem begini, harga jual bisa melonjak karena penjualan berantai. Padahal ini kan bukan MLM,” ujarnya. Antisipasi tersebut dianggapnya sangat penting untuk menghindari pertikaian di antara agen/reseller serta mengendalikan harga agar tidak terlalu tinggi. Pasalnya pernah ada yang menjual Abon Cabe Ninoy ukuran 100 gram dengan harga di atas Rp50.000. Padahal ukuran tersebut rata-rata dijual sekitar Rp35 ribu.
Pada perkembangannya, menurut Henny, permintaan lebih banyak datang untuk menjadi agen. Ini otomatis terjadi lantaran jika ada permintaan reseller dalam jumlah sedikit, ia menyarankan agar yang bersangkutan menghubungi agen terdekat saja. Pertimbangannya, efisiensi biaya pengiriman.
Bagi agen yang menawarkan dagangan melalui facebook, Henny memberlakukan larangan untuk men-tagg dirinya. “Aneh saja kan, masak saya pabriknya ditawarin jualan mereka,” ujar wanita berperawakan tinggi besar ini sambil tersenyum kecil. Namun di sisi lain, ia tidak keberatan mencantumkan nama-nama agen Abon Cabe Ninoy di akun facebook maupun blog-nya.
Agar tidak crowded dalam mengatur agen yang sudah ada, sekarang Henny mengategorikan agen menjadi dua macam berdasarkan proses pemesanan. Pertama agen premium dengan volume pesanan minimal 75 kg. Ada 10 agen yang sudah masuk dalam kategori ini dan rata- rata berdomisili di seputar Jabodetabek. “Kita screening yang pemesanannya banyak dan rutin karena itu bisa jadi indikator bahwa mereka mampu memberikan service bagus untuk customer,” jelasnya. Dan yang kedua agen regular untuk pemesan minimal 10 kg. Penulis hitung ada sekitar 90 agen yang masuk kategori ini.
Secara bertahap Henny mulai mengalihkan tanggungjawab pemantauan saluran bisnis digitalnya kepada karyawannya. Dua orang staf yang dia percaya dikhususkan untuk menangani dua alamat BBM, 2 akun facebook , serta 2 nomor GSM dan 2 telepon local. “Sesudah ada agen resmi, tidak ada lagi yang boleh order melalui facebook . Pesanan diarahkan ke agen terdaftar. Tapi bertanya tetap boleh,” Henny merinci step selanjutnya.
Belum Ada HET
Cukup disayangkan, sampai sekarang Henny tidak menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk produknya. Dalam strategi pricing, sejauh ini Henny berusaha mempertahankan sistem fixed rate dari pihaknya kendati di pasar terjadi flutuasi harga cabe seperti yang terjadi rutin terjadi menjelang hari-hari besar. Disadari system itu memang beresiko terhadap image produknya. Jika cabe sedang murah, Abon Ninoy akan terkesan mahal, namun sebaliknya jika harga cabe sedang mahal, Henny bisa tekor.
Contoh gamblang terjadi ketika harga cabe melesat sampai di atas Rp 100 ribu/kg awal 2011 silam. Ketika itu permintaan Abon Cabe Ninoy justru melesat dibandingkan bulan sebelumnya. Volume permintaan sampai 700 kg/bulan. Selama 1-2 bulan Henny masih tertolong dengan stok bahan baku yang ada. Namun setelah beberapa bulan ditunggu harga cabe tak kunjung turun, Henny terpaksa menaikkanharga produk varian original (yang memang butuh cabe lebih banyak) dari Rp 30 ribumenjadi Rp35 ribu. “Kita sudah tidak bisa ambil untung, tapi lebih penting langganan tercukupi dan produksi kita muter,” ujarnya. Namun di sisi lain ia mengakui mendapatkan berkah dari peristiwa tersebut. Awareness produknya naik tajam, begitu juga volume penjualannya.
Belajar dari pengalaman tersebut, Henny akhirnya membukan lahan budidaya cabe seluas 3 ha di atas tanah milik orang tuanya yang terletak di Bogor.
Henny menghitung, kinerja bisnis Abon Cabe Ninoy sekarang sudah mencapai omset sebesar 1.000-1.500 kg per bulan dengan nilai di atas Rp300 juta. Saat ini Abon Cabe Ninoy sudah ada di seluruh pulau di Indonesia, dan cukup banyak yang dikirim ke luar negeri oleh tangan kedua.
Dengan besar hati wanita berpembawaan renyah ini mengakui bahwa keberhasilan bisnis UKM Abon Cabe Ninoy yang dirintisnya 80% di-support oleh peran media. Namun ia berfikir ke depan, tidak mungkin media akan tertarik untuk meliput selamanya. Karena itu ia mulai mempertimbangkan melakukan promosi melalui tabloid, majalah, radio dan kalender guna lebih memperkuat branding produk. Ia juga tengah mempertimbangkan untuk membuka system waralaba.
Agar tidak terlalu tergantung pada keberadaan agen seperti sekarang, Henny juga tengah merencanakan untuk membangun workshop milik sendiri. Di luar itu, ia tetap bersikukuh untuk tidak masuk ke pasar modern lantaran tidak mau ditekan dengan berbagai persyaratan yang menurutnya berat sebelah. Penjualan di supermarket juga dinilai akan mengurangi persepsi eksklusifitas Abon Cabe Ninoy.
Tinggalkan komentar